Beberapa waktu lalu, marak pemberitaan di media massa tentang Jemaat
Ahmadiyah. Berbagai polemik muncul. Banyak media memberikan pembelaan
terhadap Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di London ini, meski ia lahir di
India. Berbagai kalangan yang menisbatkan diri sebagai cendekiawan
muslim, ikut menyuarakan argumen pembelaan. Jaringan Islam Liberal
(JIL), yang di motori Ulil Abshar Abdalla, begandeng tangan dengan
sejumlah aktivis HAM dan sejumlah tokoh gereja, bahkan bermaksud
mengajukan gugatan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas fatwa MUI
yang menyatakan Jemaat Ahmadiyah Qadiyan sesat dan agar segera
dibekukan. Dan fatwa ini ternyata bukan yang pertama bergulir.
Sebelumnya sudah ada fatwa dengan substansi yang sama.
Pembelaan yang muncul, semua mengatas namakan HAM dan kebebasan
beragama. Santernya sikap pro ini, sempat memojokkan MUI, yang katanya
bukan sebagai otoritas yang berhak menghakimi kebenaran beragama.
Sementara itu, nayris tidak satupun media massa yang melakukan balance
dalam pemberitaan tersebut. Sungguh ironi.
Tulisan berikut, bukan bermaksud mengupas mengenai Jemaat Ahmadiyah
yang tengah diperbincangkan tersebut. Banyak yang sudah membahas.
Berikut kami sajikan sisi lain. Yaitu mengenal sosok pencetus Jemaat
Ahmadiyah ini. Tidak lain, dia adalah Mirza Ghulam Ahmad. Siapakah dia
sebenarnya? Apakah anda mengenalnya?
Tulisan ini kami angat dari Al-Qadiayaniah Dirasat Wa Tahlil, karya
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As-Sunnah, Lahore,
Pakistan, tanpa tahun. Meski hanya satu refensi yang kami jadikan
pegangan, namun buku yang dikarang oleh Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir ini
merupakan buku yang istimewa. Beliau, yang berkebangsaan Pakistan,
sangat menguasai dan memahami permasalahan tentang Ahmadiyah sebagaimana
tertulis dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Urdu. Rujukan beliau
banyak bertumpu pada karya-karya asli Jemaat Ahmadiyah, baik yang
dikarang Mirza Ghulam Ahmad atau para penerusnya.
KELUARGA GHULAM AHMAD
Dia menceritakan, namaku Ghulam Ahmad. Ayahku Atha Murthada. Bangsaku
Mongol. (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, karya Ghulam Ahmad). Namun dalam
kesempatan lain, ia mengatakan, keluargaku dari Mongol… tapi berdasarkan
firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin
ini. Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui seluk-beluk keluargaku
seperti pemberitaan yang datang dari Allah Ta’ala (Hasyiah Al-Arbain,
no. 2 hal. 17, karya Ghulam Ahmad). Dia juga pernah berkata : “Aku
membaca beberapa tulisan ayah dan kakek-kakekku, kalau mereka berasal
dari suku Mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku, bahwa keluargaku
dari bangsa Persia” (Dhamimah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 77, karya Ghulam
Ahmad). Yang mengherankan, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan
Fathimah binti Muhammad [Tuhfah Kolart, hal. 29]
Begitulah, banyak versi tentang asal-usul Mirza Ghulam Ahmad yang
berasal dari pengakuannya sendiri. Maha Benar Allah dengan firman-Nya.
“Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
menjumpai pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisa : 82]
Setelah itu, ia menceritakan tentang ayahnya : “Ayahku mempunyai
kedudukan di kantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya
pemerintah Inggris. Dia pernah membantu pemerintah untuk memberontak
penjajah Inggris dengan memberikan bantuan pasukan dan kuda. Namun
sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga
menjadi petani yang melarat” [1] [Tuhfah Qaishariyah, hal. 16, karya
Ghulam Ahmad]
Dari keluarga yang tidak jelas garis keturunan lagi melarat, Ghulam
dilahirkan. Dia berkisah ; “Aku dilahirkan pada tahun 1839M atau tahun
1840M di akhir masa Sikh di Punjab’ [Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, karya
Ghulam Ahmad]
MASA KECIL GHULAM AHMAD DAN PENDIDIKANNYA
Tatkala mencapai usia tamyiz, ia mulai belajar sharaf, nahwu dan
beberapa kitab berbahasa Arab, bahasa Persia dan ilmu pengobatan.
Dia berkata : “Aku belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Persia
dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu
pengobatan, aku pelajari dari ustadz Fadhl Ahmad’. Hanya saja, sesuai
dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya di Koran Al-Fadhl
(5 Februari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar
Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja.
Selain itu, ia juga sempat mengenyam pembelajaran bahasa Inggris di
sebuah madrasah khusus untuk pegawai pemerintah. Satu atau dua buku
bahasa Inggris saja yang ia pelajari.
Pendidikan masa kecil yang dijalani Mirza Ghulam Ahmad dengan model
ini (baca : yang sangat dangkal) menampakkan pengaruhnya dalam tulisan
dan ucapan-ucapannya. Kesalahan-kesalahannya tidak hanya terjadi pada
masalah-masalah yang pelik, tetapi juga terlihat pada perkara-perkara
yang sederhana. Misalnya, ia pernah berkata : “Sesungguhnya saat
Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal”
(Baigham Shulh, hal. 19, karya Ghulam Ahmad). Padahal ayah beliau
meninggal dunia ketika beliau masih di dalam kandungan ibunya.
Contoh kekeliruan lainnya dalam kitabnya, Ainul Ma’rifah, hal. 286,
Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, bahwa Rasulullah mempunyai sebelas anak
dan semuanya meninggal. Padahal yang benar berjumlah enam orang.
Pada waktu itu, keberanian merupakan ciri khas orang-orang yang mulia
(bangsawan). Tetapi orang yang mengaku sebagai “Al-Masih” ini tidak
pernah masuk dalam peperangan, tidak belajar ilmu-ilmu keperwiraan, yang
dahulu dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kemuliaan dan sikap
kesatria.
PENYAKIT-PENYAKIT YANG DIDERITANYA
Berbicara tentang penderitaan fisik (baca : penyakit) yang dialaminya
sangat banyak. Tangan kanannya patah sehingga untuk mengangkat sebuah
teko pun tidak mampu. (Sirah Al-Mahdi, 1/198). Dia pernah menderita
penyakit TBC dan diobati selama kurang lebih enam bulan (Hayatu Ahmad,
1/79). Dia juga pernah mengakui ditimpa dua penyakit. Di bagian atas
tubuh, yaitu kepala yang sering pusing dan dibagian bawah, yaitu kencing
yang berlebihan. (Haqiqatul Wahyi, hal. 206, karya Ghulam Ahmad).
Pusing kepalanya ini sering mengganggunya. Kadang menyebabkannya
terjatuh sehingga pingsan. Oleh karena itu, ia sering tidak berpuasa
pada bulan Ramadhan yang ia jumpai. [Sirah Al-Mahdi, 1/51 karya anaknya]
Dia juga mengalami gangguan syaraf, ingatan buruk tidak tergambarkan.
Dua matanya sangat lemah. Anaknya menceritakan, bahwa Mirza Ghulam
Ahmad pernah ingin berphoto bersam murid-muridnya. Pemotret memintanya
untuk membuka matanya sedikit saja, agar gambar menjadi baik. Dia pun
berusaha dengan susah payah, tetapi gagal.[Sirah Al-Mahdi, 2/77]
Sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam harian Al-Hakam, 31 Oktober 1901M, otaknya juga mengalami kelemahan.
PERMULAAN KETENARAN DAN DAKWAHNYA
Permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah
ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku
India Nasrani, sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer
terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani dan Hindu. Kebanyakan
kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam
dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan
kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir, bahwa pekerjaan itu sangat sederhana
dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya
saat bekerja di kantor.
Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, maka pertama
kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang
agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media
massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum Muslimin pun
akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun
1877-1878M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku
sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran
syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena
itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material.
Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang
palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.
Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa)
dan kusyufat tipuan yang ia alami. Sehingga orang-orang awam menilainya
sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu saja.
Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar
kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud. [Majmu’ah I’lanat Ghulam
Al-Qadiyani, 1/25]
Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880M, dengan judul
Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan
karakter penulisnya. Cerita tentang alam ghaib yang berhasil ia
ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.
Kitab-kitab volume berikutnya pun bermunculan. Namun, tatkala sampai
kepada masyarakat, mereka keheranan, karena mendapat isi buku tersebut
tidak seperti yang dikatakan penulis pertama kali, yaitu bantahan
terhadap agama Hindu dan Nasrani, tetapi justru dipenuhi dengan
cerita-cerita tentang karamah dan sanjungan terhadap kolonialis Iggris.
Dari sini, masyarakat kemudian mengetahui, ternyata lelaki ini
hanyalah seorang pendusta dan pencuri harta manusia. Buku yang telah
diterbitkan hanya untuk mendapatkan popularitas dan memanfaatkan kaum
Muslimin, menguras harta mereka, bukan untuk membela Islam. Apalagi
setelah kaum Muslimin menemukan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam dalam buku yang ia terbitkan tersebut.
Banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu,
sebenarnya tidak mempunyai keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko
semata. Andai ada orang lain yang mampu membayarnya dengan jumlah yang
lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan melakukan
pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan
oleh para ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan
orang yang dapat memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga
sang penjajah ini mencari orang dari kalangan kaum Muslimin untuk
diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan memanfaatkan
semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad.
Oleh karena itu, ia penuhi kitab volume ketiganya dengan pujian-pujian
kepada kolonialis Inggris.
Perhatikan pengakuannya dalam volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum Muslimin
Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang
menulis kepadaku, mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume
ketiga? Mengapa engkau berterima kasih kepada pemerintah Inggris?
Sebagian kaum muslimin mencaci-maki dan mecelaku karena sanjungan ini.
Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah
Inggris, kecuali berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. [Barahin
Ahmadiyah, vol.4]
Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala
yang berharga untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat
Islam. Persis seperti ayahnya yang dahulu juga berkhianat, tetapi kepada
negeri India dan penduduknya.
Pada tahun 1885M, ia memproklamirkan diri sebagai mujaddid dengan
mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah. Enam tahun
berikutnya, tahun 1891M, ia mengklaim diri sebagai Imam Mahdi. Pada
tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun
1901M, ia mendeklarasikan statusnya sebagai nabi yang mandiri, dan lebih
mulia dari seluruh pada nabi dan rasul.
Sebagian ulama dapat mendeteksi keinginannya sebelum ia mengaku
sebagai nabi (palsu). Tetapi dengan segera ia mencoba menepisnya dengan
berkata : “Aku juga beraqidah Ahlus Sunnah. Aku berkeyakinan Muhammad
adalah penutup para nabi. Barangsiapa mengaku sebagai nabi, maka ia
kafir, pendusta. Karena aku beriman bahwa risalah itu bermula dari Adam
dan berakhir dengan kedatangan Rasulullah Muhammad” [Pernyataan Ghulam
Ahmad pada 12 Oktober 1891 yang terdapat dalam kitab Tabligh Risalah,
2/2]
Kemudian dengan bisikan dari penjajah ia mengatakan untuk mengecoh :
“Aku bukan nabi, tetapi Allah menjadikannku orang yang diajak bicara
(kalim), untuk memperbaharui agama Al-Musthafa (Muhammad)” [Mir-atu
Kamalati Al-Islam, hal. 383]
Keterangan lain darinya ; “Aku bukan nabi yang menyerupai Muhamamd
atau datang dengan ajaran yang baru. Justru yang ada dalam risalahku,
aku adalah nabi yang mengikutinya (nabiyyun muttabi)” [Tatimmah Haqiqati
Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad]
Dia juga mengatakan ;” Demi Allah yang ruh-ku berada di
genggaman-Nya, Dialah yang mengutusku dan menyebutku sebagai nabi…. Aku
akan memperlihatkan kebenaran pengakuanku dengan mukjizat-mukjizat yang
jumlahnya tidak kurang dari tiga ratus ribu mukjizat” [Tatimmah Haqiqati
Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad]
Coba perhatikan pernyataan-pernyataannya. Dia betul-betul berusaha
mengecoh kaum Muslimin. Padahal sebelumnya, ia mengatakan :”Siapa saja
yang mengklaim diri sebagai nabi setelah Muhammad, berarti ia saudara
Musailamah Al-Kadzdzab, kafir lagi busuk” (Anjam Atsim, hal. 28, karya
Ghulam Ahmad). Dia juga mengatakan : “Kami melaknat orang-orang yang
mengaku sebagai nabi setelah Muhammad” [Tabligh Risalah, 26/2]
Perlu juga disebutkan, kitab yang ia janjikan berjumlah lima puluh
jilid, tidak ia selesaikan kecuali lima jilid saja. Sehingga ketika
ditanya oleh para donatur, ia menjawab : “Tidak ada bedanya antara angka
lima dan lima puluh, kecuali pada nolnya saja” [Muqaddimah Barahin
Ahmadiyah, 5/7, karya Ghulam Ahmad]
CACIAN-CACIAN MIRZA GHULAM AHMAD KEPADA SETERUNYA
Dia pernah mengatakan, melalui “wahyu” yang konon diterimanya, bahwa
salah seorang seterunya akan mati pada waktu tertentu. Tetapi ternyata,
seteru yang ia sebutkan tidak mati. Maka para ulama pun menyanggahnya
dengan mengatakan : “Engkau katanya nabi, tidak berbicara kecuali dengan
wahyu. Bagaimana mungkin janji Allah tidak tepat?”
Menanggapi bantahan dari para ulama ini, Mirza Ghulam Ahmad bukannya
memberi jawaban dengan bukti dan dalil, tetapi justru melontarkan cacian
: “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari babi” [Najam
Atsim, hal. 21, karya Ghulam Ahmad]
Cacian-cacian lain yang keluar dari Mirza Ghulam Ahmad ini sudah
sangat keterlaluan. Sebab orang-orang umum saja tidak akan sanggup
mengatakannya.
Sang anak, Mahmud Ahmad bin Ghulam pernah mendengar ada orang yang
mencaci orang lain dengan sebutan “hai anak haram”, maka ia (Mahmud
Ahmad) mengatakan : “Orang seperti ini, pada masa Umar dihukum pidana
pukul karena melakukan qadzaf (tuduhan zina). Tetapi sekarang, dapat di
dengar seseorang mencela orang lain dengan celaan itu, namun mereka
tidak bereaksi. Seolah-olah celaan ini tida ada artinya di mata mereka”
[Khutbah Al-Jum’ah, Mahmud Ahmad bin Ghulam, Koran Al-Fadhl, 13 Februari
1922M]
Tetapi ironisnya, ayahnya justru pernah mencela seorang ulama dengan
ucapan “hai anak pelacur”. (Najim Atsim, hal. 228, karya Ghulam Ahmad).
Mengacu kepada pernyataan Mahmud Ahmad, bukankah berarti Mirza Ghulam
ini pantas untuk dihukum pukul? Dan ucapan itu tidak hanya terjadi
sekali atau dua kali, tetapi sangat sering dilontarkan ayahnya “sang
mujaddid akhlak”.
Contoh lainnya, di dalam khutbahnya, ia pernah menyampaikan : “Itu
adalah kitab. Akan dilihat oleh setiap muslim dengan penuh kecintaan dan
sayang serta ia mendapatkan manfaat darinya. Dia akan menerima dan
membenarkan dakwahku, kecuali keturunan-keturunan para pelacur yang
telah Allah kunci hati mereka. Mereka tidak akan menerima” [Mir’atu
Kamalati Al-Islam, hal. 546, karya Ghulam Ahmad]
Begitulah contoh akhlak Mirza Ghulam Ahmad. Semoga kita terlindung dari perbuatan tercela.
KOMENTAR MIRZA GHULAM AHMAD TERHADAP RASULULLAH MUHAMMAD
Banyak orang yang celaka muncul di muka bumi karena mencela para rasul,
tetapi tidak banyak yang sekaliber Mirza Ghulam Ahmad dan para
pengikutnya, dalam mencela para rasul, “mencuri” kenabian. Allah
berfirman.
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah …” [Al-An’am : 93]
Dia mengklaim sebagai nabi dan rasul-Nya, seperti yang dilakukan oleh
Musailamah dan Al-Aswad An-Ansi. Langkah berikutnya, ia mengaku sebagai
orang yang paling utama dari dari seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana
ia menyatakan dirinya telah dianugerahi segala yang telah diberikan
kepada seluruh para nabi (Durr Tsamin, hal. 287-288, karya Ghulam
Ahmad). Dalam pernyataan yang lain, ia mengatakan, sesungguhnya Nabi
(Muhammad) mempunyai tiga ribu mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki
mukzijat lebih dari satu juta jenis”, kata Ghulam Ahmad” [Tadzkirah
Asy-Syahadatain, hal. 72, karya Ghulam Ahmad]
Di lain tempat, katanya, Islam muncul bagaikan perjalanan hilal
(bulan, dari kecil), dan kemudian ditaqdirkan mencapai kesempurnaannya
di abad ini menjadi badr (bulan pernama), dengan dalil (menurutnya)….
(Khutbah Al-Hamiyah, hal. 184, karya Ghulam Ahmad), sebuah tafsiran yang
kental nuansa tahrifnya (penyelewengan), layaknya perlakuan kaum Yahudi
terhadap Taurat. Sebuah makna yang tidak dikehendaki Allah, tidak
pernah disinggung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun terbetik di
benak salah seorang sahabat, para imam dan ulama tafsir. Demikian salah
satu trik untuk merendahkan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo
merendahkan martabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mengatakan : “Sesungguhnya Muhammad pernah sekali datang kepada kami.
Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa saja
yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya
ia memandang Ghulam Ahmad di Qadian” [Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25
Oktober 1902M]
KRITIK SANG NABI PALSU TERHADAP BEBERAPA NABI
Mirza Ghulam Ahmad pernah berkomentar tentang Nabi Isa : “Sesungguhnya
Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang shalih. Sebab
orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan
perilakunya tidak baik” [Hasyiyah Sitt Bahin, hal. 172, karya Ghulam
Ahmad]
Komentar miring lainnya, menurutnya, Isa cenderung menyukai para
pelacur. Karenanya nenek-neneknya adalah termasuk pelacur [Dhamimah
Anjam Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karya Ghulam Ahmad]
Anehnya, meski perkataan yang keluar dari mulutnya sangat kotor,
tetapi ternyata Mirza Ghulam Ahmad “bersabda” dalam hadits palsunya :
“Sesungguhnya celaan, makian, bukan perangai orang-orang shidiq. Dan
orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat” [Izalatul Auham,
hal. 66]
CACIAN MIRZA GHULAM AHMAD KEPADA PARA SAHABAT
Para sahabat pun tidak lepas dari cercaan yang dilancarkan Ghulam Ahmad.
Termasuk penghulu para remaja/pemuda di surga kelak, yaitu Hasan,
Husain, juga Abu Bakar dan Umar
Mirza Ghulam Ahmad ini mengataan : “Orang-orang mengatakan aku lebih
utama dari Hasan dan Husain. Maka aku jawab, ‘Itu benar. Aku lebih utama
dari mereka berdua. Dan Allah akan menunjukkan keutamaan ini” [I’jaz
Ahmadi, hal. 58, karya Ghulam Ahmad]
Salah seorang anaknya dengan congkak berkata : “Dimana kedudukan Abu
Bakar dan Umar (tidak ada apa-apanya) bila dibandingkan dengan kedudukan
Mirza Ghulam Ahmad? Mereka berdua saja tidak pantas untuk membawa
sandalnya” [Kitab Al-Mahdi, Pasal 304, hal. 57, karya Muhammad Husain
Al-Qadiyani]
Tentang Abu Hurairah, Ghulam Ahmad mengatakan : “Abu Hurairah orang
yang dungu. Dia tidak memiliki pemahaman yang lurus” [I’jaz Ahmadi, hal.
140]
Perhatikan! Padahal ia sendirilah orang yang dungu, lagi bodoh. Lihat
pengakuannya : “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk. Aku lupa
orang-orang yang sering menemuiku” [Maktubat Ahmadiyah, hal. 21]
KEMATIAN MIRZA GHULAM AHMAD
Menyaksikan sepak terjangnya yang kian menjadi, maka para ulama saat itu
berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad, agar ia bertaubat dan berhenti
menyebarkan dakwahnya yang sesat. Nasihat para ulama ternyata tidak
membuahkan hasil. Dia tetap bersikukuh tidak memperdulikan. Akhirnya,
para ulama sepakat mengeluarkan fatwa tentang kekufurannya. Di antara
para ulama yang sangat kuat menentang dakwah Mirza Ghulam Ahmad, adalah
Syaikh Tsanaullah.
Mirza Ghulam Ahmad sangat terusik dengan usaha para ulama yang
mengingatkannya. Akhirnya dia mengirimkan surat kepada Syaikh
Tsanaullah. Dia meminta agar suratnya ini dimuat dan disebarkan di
majalah milik Syaikh Tsanaullah.
Di antara isi suratnya tersebu, Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima
gelar pendusta, dajjal yang diarahkan kepadanya dari para ulama masa
itu. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya, tetap sebagai seorang nabi,
dan ia menyatakan bahwa para ulama itulah yang pendusta dan penghambat
dakwahnya.
Sang nabi palsu ini menutup suratnya dengan do’a sebagai berikut :
“Wahai Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang
tersimpan di hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam
pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada waktu siang dan
malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah masih hidup,
dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
Wahai Allah ! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di
atas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka
binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau
penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin”
Begitulah bunyi do’a Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah do’a mubahallah. Dan
benarlah, do’a yang ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh
Allah Azza wa Jalla. Yakni 13 bulan lebih sepuluh hari sejak do’anya
itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908M, Mirza Ghulam Ahmad ini
dibinasakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan penyakit kolera, yang dia
harapkan menimpa Syaikh Tsanaullah. Di akhir hayatnya, saat meregang
nyawa, dia sempat mengatakan kepada mertuanya : “Aku terkena penyakit
kolera”. Dan setelah itu, omongannya tidak jelas lagi sampai akhirnya
meninggal. Sementara itu, Syaikh Tsanaullah masih hidup sekitar empat
puluh tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.
Meski kematian telah menjemput Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan
berarti ajarannya juga ikut mati?. Ternyata kian tersebar di tengah
masyarakat. Karenanya, sebagai seorang muslim, hendaklah lebih
berhati-hati, agar tidak terjerat dengan berbagai ajaran sesat.
Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai sebuah
kebenaran, dan berilah kami kekuatan untuk melakukannya. Ya, Allah.
Perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai sebuah kebatilan, dan
berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Sumber: almanhaj.or.id