Shalat dapat memberikan stimulus untuk anak yang berada dalam kandungan,
termasuk menjadikannya sebagai anak shalih maupun shalihah. Penelitian
modern telah membuktikan bahwa shalat baik yang wajib maupun sunnah
memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan otak kanan. Fungsi
shalat, sebagaimana yang dikutip dalam al-Qur’an sebagai tanha ‘anil
fahsya-I wal munkar (mencegah dari perbuatan keji dan munkar menjadi
penegas bahwa shalat itu benar-benar berkaitan erat dengan otak kanan.
Shalat merupakan salah satu media yang mampu mengembangkan daya pikir
seseorang menjadi luas tak terbatas. Artinya, seseorang yang mampu
menyelami makna di balik rahasia shalat itu, cara pandangnya tidak lagi
sempit. Ia sanggup menjamah hal-hal yang tidak bisa dinalar oleh kiri.
Sebagai contoh, dalam konteks shalat lima waktu pernahkah otak kita
menerawang dengan cukup jauh mengenai makna dibalik ditetapkannya
waktu-waktu tertentu dalam menegakkan shalat? Dan, kenapa kita hanya
shalat menjelang terbitnya fajar, saat tergelincir matahari (shalat
Zhuhur), jauh sebelum dan sesudah matahari tenggelam, dan seterusnya.
Nyaris pikiran kita tidak mampu menjamah lebih jauh tentang alasan Allah
Swt. Menetapkan waktu-waktu tertentu dalam shalat. Itulah sebabnya,
penting bagi kita untuk memahami pesan Rasulullah Saw. Kepada sekelompok
orang Yahudi ketika beliau ditanya tentang waktu-waktu ditetapkannya
shalat.
Dalam sebuah riwayat. Ali bin Abu Thalib Ra. Mengisahkan kejadian itu.
Sewaktu Rasulullah Saw, duduk bersama para sahabat Muhajirin Dan Anshar,
secara tiba-tiba, datanglah satu rombongan orang Yahudi. Lalu berkata
kepada beliau,”Coba terangkan kepada kami tentang lima waktu yang
diwajibkan oleh Allah Swt.”
Dengan cukup detail , Rasulullah Saw. Bersabda, ”Shalat Zhuhur ketika tergelincir matahari. Maka, bertasbihlah segala sesuatu kepada Allah Swt. Shalat Ashar saat Nabi Adam As. Memakan buah khuldi. Shalat Maghrib ketika Allah Swt. Menerima taubat Nabi Adam As. Sedangkan, Shalat Isya’ merupakan shalat dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Sementara itu, shalat subuh dilakukan sebelum terbit matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk setan, dan di sanalah sujudnya orang kafir.”
Mendengar penjelasan Rasulullah Saw, tersebut rombongan orang Yahudi
bertanya kepada beliau,”Padahal apa yang akan diperoleh orang yang
shalat?”
Rasulullah Saw. Bersabda,”Jagalah waktu-waktu shalat, terutama shalat
pertengahan, yakni shalat Zhuhur , karena saat itu neraka jahanam sedang
menyala. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat ketika itu akan di
haramkan api neraka jahanam pada hari kiamat atas mereka. Adapun shalat
Ashar merupakan saat Nabi Adam As, memakan buah Khuldi. Orang-orang
mukmin yang mengerjakan shalat Ashar akan diampuni dosa mereka seperti
bayi baru lahir. Sedangkan, shalat Maghrib ketika Allah Swt, menerima
taubat Nabi Adam As. Oleh karena itu seorang mukmin yang menunaikan
shalat Maghrib dengan ikhlas, kemudian ia berdoa (meminta sesuatu
kepada-Nya), Dia akan mengabulkan permintaanya. Sementara itu, seorang
mukmin yang berjalan pada malam hari yang gelap gulita guna menunaikan
shalat Isya’ berjamaah, maka Allah Swt, mengharamkan atasnya karena
nyala api neraka dan di berikan kepadanya cahaya untuk menyebrangi
Titian Sirath. Adapun seorang mukmin yang mengerjakan shalat subuh
selama 40 hari secara berjamaah, Allah Swt. Memberikan kepadanya dua
kebebasan, yaitu dibebaskan dari api neraka dan nifaq.”
Setelah mengkaji penjelasan Rasulullah Saw, tentang rahasia (dibalik
waktu-waktu) shalat itu, penting bagi kita untuk memperbaiki shalat.
Sebab, shalat yang baik pasti berefek baik terhadap perilaku sekaligus
membuat kecerdasan otak akan berkembang pesat. Demikian juga bagi ibu
hamil, shalat yang dilakukan oleh seorang ibu hamil akan memiliki dampak
terhadap janin yang dikandungnya, termasuk dalam pengembangan terhadap
otak kanannya.
Selain itu, penelitian modern juga menemukan bahwa di dalam otak manusia
terdapat titik Tuhan atau god spot. Pusat spiritual ini terpasang di
antara saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Jika manusia mampu
mengasa titik Tuhan itu, niscaya akan menemukan keteduhan, kesejukan,
dan kebahagian yang hakiki dalam hidup.
Nah, dengan cara apa ibu hamil mengembangkan titik Tuhan yang ada dalam otak?
Tentunya, salah satunya ialah dengan shalat. Ya, shalat merupakan media
yang mampu mengasah kecerdasan spiritual. Semakin khusyuk atau penuh
dengan penghayatan yang kuat shalat yang dikerjakan, maka kecerdasan
spiritual yang berpusat di titik Tuhan berkembang secara otomatis,
termasuk janin yang ada di dalam kandungan.
Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan. Sebab, kita yang memiliki
kecerdasan spiritual senantiasa mendapatkan kedamaian di dalam diri yang
menyebar ke sekeliling sekaligus memberikan rasa kasih kepada sesama.
Itu seperti matahari yang selalu memancarkan sinarnya tanpa balas jasa.
Lantas, bagaimana cara menunaikan shalat yang baik agar ibu hamil bisa memberikan kecerdasan terhadap anak yang di kandungnya? Untuk mengetahui jawabannya silakan simak beberapa cara berikut:
1. Shalat Dengan Khusyuk
Saat shalat, ibu hamil dituntut fokus (kosentrasi). Focus berarti mengarahkan pandangan mata batin kepada Allah Swt., sehingga mampu menghadirkan Dzat yang disembah. Itulah inti khusyuk.
Dalam Futuhat Makkiyah, Ibnu Arabi menerangkan betapa banyak orang yang
tidak mengalami pengalaman apa pun dari shalat itu, kecuali lelah.
Padahal orang lain yang mendapat berkah berkat dialog keilahiahan yang
mendasar, meskipun tampak hanya memenuhi kewajiban agamanya yang biasa.
Dengan demikian, shalat yang tidak khusyuk takkan mendapatkan apapun (pengalaman
spiritual) yang jadi inti dari shalat itu sendiri. Jika kondisi seperti
ini terjadi pada (shalat) ibu hamil, maka bagaimana mungkin shalat
menjadi media yang efektif dalam mengembangkan imajinasi dan daya ledak
otak kanan yang kuat terhadap diri dan janin yang dikandungnya?
Tentunya, ketidakkhusyukan menunjukkan kualitas shalat belum mencapai
kesempurnaan. Sehingga ibu hamil tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa
lelah. Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil untuk belajar khusyuk
saat shalat.
Allah Swt, berfirman:
“Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS.al-Mu’minuun : 1-2).
Dengan demikian, khusyuk menjadi faktor penting dalam melaksanakan
shalat, khusyuk membawa hati hati dan diri pelakunya pada kenyataan
hakiki bahwa Allah Swt, adalah sang pencipta yang sangat berkuasa atas
makhluk-Nya. Kesadaran itu bisa menyampaikan doa maupun keinginan dan
menjadi keberuntungan bagi pelakunya. Oleh karena itu, hendaklah kita
melaksanakan shalat secara khusyuk, terutama bagi seorang istri yang
sedang hamil. Dalam hal ini, shalat yang dikerjakan secara khusyuk dapat
membantu mereka memperoleh anak yang shalih dan shalihah.
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, shalat ibadah yang sebenarnya
ialah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka
shalat jasmaniah akan berantakan. Oleh karena itu, guna mencapai titik
kesempurnaan, mutlak dibutuhkan konsentrasi hati. Ketika hati sudah
condong kepada Allah Swt., berarti shalat kita tegakkan benar-benar
menjadi tiang agama.
2. Ikhlas
Ikhlas merupakan “ruh” segala aktivitas hidup manusia. Demikian juga
dalam konteks shalat, kita juga harus ikhlas menegakkannya; tidak ada
paksaan ataupun tuntutan. Itulah sebabnya, dalam pengertian yang
global, ikhlas berarti tidak ada tuntutan hati guna meminta balasan,
pujian, dan sanjungan, kecuali balasan semata dari Allah Swt. Jika
seorang ibu yang sedang hamil sanggup berjalan di medan ini, yakni medan
ikhlas, maka seluruh aktivitasnya bernilai tinggi di hadapan-Nya. Sama
halnya ketika shalat, tanpa adanya nilai keikhlasan, mustahil shalat
bisa berdampak terhadap kecerdasan spiritual anak yang dikandungnya.
Bahkan, boleh jadi, shalat yang tidak dikerjakan dengan ikhlas dapat
menjadi penghambat peningkatan kecerdasan bagi sang janin.
Dengan demikian, aspek keikhlasan memang cukup sulit direalisasikan.
Banyak orang yang gagal shalat lantaran kurangnya keikhlasan itu
sendiri. Bisa jadi, diantara kita ada yang bertanya,”Kenapa keikhlasan
begitu sulit dilakukan, terutama dalam shalat ?”Jawabnya, ikhlas
merupakan suatu kondisi hati yang tidak terpautkan oleh
pengharapan-pengharapan selain Allah Swt., termasuk pujian dan sanjungan
orang lain.
DR. Muhammad bin Hasan as-Syarif dalam bukunya Manajemen Hati (2002)
menerangkan bahwa ikhlas itu bertingkat-tingkat; sebagiannya lebih
tinggi dari pada sebagian lainnya. Diantaranya, ada batin manusia yang
lebih agung ketimbang aspek lahiriahnya, maka keikhlasannya itu
terwujudkan dengan adanya kesamaan batin dan lahir, tetapi derajat
tinggi darinya hanya bisa diraih apabila yang terdapat dalam batin itu
lebih besar.
Terhadap orang-orang yang tidak ikhlas, Allah Swt. Menegaskan dalam firman-Nya berikut:
“Sesungguhnya, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka. Dan, kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali, orang-orang yang taubat dan
mengadakan perbaikan, serta berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus
ikhlas (mengerjakan agama mereka karena Allah. Maka, mereka itu adalah
bersama-sama orang yang beriman, dan kelak Allah akan memberikan kepada
orang-orang yang beriman pahala yang besar (QS.an-Nisaa’: 145-146).
3. Komitmen
Shalat termasuk salah satu ibadah yang sangat menentukan. Artinya, jika
shalat kita baik, maka baik pula seluruh amal perbuatan kita. Oleh
karena itu,mkita harus mempunyai komitmen dalam menegakkan shalat.
Komitmen bermakna memiliki kesungguhan atau keseriusan. Dan, ada semacam
penghayatan terhadap ibadah yang dijalankan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,”Allah
Swt. Berfirman ,’Wahai Anak Adam, bersungguh-sungguhlah beribadah
Kepada-Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan menanggung
kefakiranmu. Jika kamu tidak melakukan itu, maka Aku akan memenuhi
dadamu dengan kesibukan dan tidak menanggung kefakiranmu.”
Dengan demikian, keseriusan dalam menegakkan shalat harus kita lakukan.
Sebab, kita memang diciptakan guna mengabdi kepada Allah Swt, dan
beribadah kepada-Nya. Komitmen untuk benar-benar beribadah kepada-Nya
lewat media shalat meniscayakan kesungguhan menyembah-Nya. Hati dan
pikiran benar-benar focus dan tidak mengingat sesuatu selain-Nya.
Itulah komitmen yang harus kita pegang. Dengan komitmen itu, tentu
shalat yang kita tegakkan semakin hari semakin mengalami perkembangan
yang baik. Ketika shalat kita sudah mengalami peningkatan, secara
otomatis titik Tuhan yang ada dalam otak mengalami peningkatan yang
signifikan juga.
4. Istiqamah
Shalat harus istiqamahatau konsisten. Keistiqamahan tidak hanya diukur
secara kuantitatif, melainkan juga di ukur dari kualitas shalat itu
sendiri. Semakin kita istiqamah menegakkan shalat, semakin berkembang
pula titik Tuhan yang ada dalam otak.
Istiqamah itu meniscayakan ketetapan hati agar terus-menerus melakukan shalat sekhusyuk mungkin. Allah Swt, berfirman:
“Dan, bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. Jin : 16).
0 komentar:
Posting Komentar